Hal itu dibuktikan dengan tingginya animo penonton, kepercayaan sponsor, serta lahirnya pemain-pemain idola baru. Tapi Investigasi Majalah Tempo menemukan hal sebaliknya. Kompetisi di bawah PSSI justru diwarnai banyak hal buruk: tim tuan rumah yang cenderung menang lewat cara mencurigakan serta adanya indikasi pemain dan wasit yang bisa disuap.
Keanehan kompetisi itu bisa dilihat di Liga Super Indonesia. Pada musim 2009/2010, kompetisi level tertinggi di Indonesia itu menyajikan 306 pertandingan. Dari jumlah itu, sebanyak 196 kali tim (64 persen) yang berposisi tuan rumah menang dan hanya 44 kali tim tamu (14 persen) bisa menang.
Bukti kesaktian tuan rumah bisa dilihat dari penampilan Persisam Putra Samarinda saat jadi juara Divisi Utama Liga Indonesia musim 2008/2009. Sebagian besar kemenangan tim itu diperoleh berkat gol dari titik penalti. Dari 15 pertandingan di kandang, Persisam mendapat 20 kali penalti. Lima di antaranya meleset dari gawang.
Pengelola klub tersebut membantah kalau dikatakan bahwa hal itu karena ada "faktor nonteknis". "Kami punya ambisi menang. Kalau main di kandang, semua klub pasti ingin menang dengan segala cara. Hadiah penalti adalah bagian dari sepak bola," kata Aspian Noor, Manajer Persisam.
"Faktor nonteknis" dalam sepak bola Indonesia merupakan istilah sopan pengganti "pengaturan" dari luar lapangan--sesuatu yang tak ada urusannya dengan keterampilan menggocek bola atau melesakkan bola ke gawang lawan.
Temuan Tempo menunjukkan bahwa pemain dan wasit merupakan unsur penting dalam patgulipat pengaturan hasil pertandingan. Kedua unsur ini bisa "dibeli" untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Permainan kotor biasanya melibatkan 3-5 pemain, yang disuap lewat calo. Tarifnya umumnya Rp 5-25 juta per pemain pada kompetisi Divisi I dan II. Pemain di level ini lebih mudah dipengaruhi karena gajinya sering terlambat. Di Divisi Utama dan Liga Super, harga pemain minimal Rp 25 juta per pemain.
Pemain yang sudah dibeli lawan ini biasanya melakukan berbagai aksi merusak timnya di lapangan. Berpura-pura emosional dan marah paling mudah dilakukan. Aksi ini membuat pemain tersebut diganjar kartu atau menaikkan emosi dan menurunkan semangat tim. Modus lain yang paling sering dilakukan adalah bermain kasar di daerah penalti sendiri. Bisa juga pura-pura tak mampu membendung bola lawan.
Ada juga trik lama yang masih dipakai kiper "bayaran". Pemain itu menyatukan telunjuk dan jari tengah dalam satu lubang jari sarung. Lalu jari manis disatukan dengan kelingking, juga di satu lubang. Alhasil, dua lubang jari sarung kosong. Tentu saja, bola gampang lolos dari tangkapan.
Klub juga bisa mengharapkan hasil yang menguntungkan pihaknya dengan memesan wasit tertentu yang telah dikenalnya. Tarifnya Rp 20-50 juta, bergantung pada tawar-menawar dan penting-tidaknya pertandingan.
Wakil Ketua Umum PSSI Nirwan Dermawan Bakrie menegaskan, PSSI sudah memiliki Komisi Disiplin untuk mengawasi praktek seperti itu. "Tapi memang susah untuk mengatur soal suap, karena sulit dibuktikan," katanya.
Nirwan mengatakan suap antarpemain lebih sedikit karena tanggung jawab mereka ke klub cukup berat. Tapi, ujarnya, suap di kalangan wasit memang agak rawan karena bisa mempengaruhi pertandingan. "Ini bisa kelihatan dari adil-tidaknya dia memimpin. Itu akan kami evaluasi."
Praktek tak terpuji lain juga terungkap dalam investigasi Tempo itu. Salah satunya adalah soal keharusan "setor dana" kepada pengurus PSSI bagi klub yang ingin berpromosi ke level lebih tinggi. Laporan keuangan klub Liga Super juga tak memenuhi standar akuntansi.
Dari 16 klub peserta kompetisi 2009/2010, cuma empat kesebelasan yang berbadan hukum. Dari empat klub itu, hanya Arema Malang dan Persebaya yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
by Just-Sharing
0 comments:
Post a Comment